oleh Sylvania Hutagalung
“Anak-anak seharusnya tidak dibiarkan tidur pada malam hari, karena mereka akan selalu bangun lebih tua dari kemarin,” demikian J. M. Barrie, seorang penulis yang melahirkan cerita Peter Pan pernah mengungkapkan. Dunia anak-anak laksana sebuah tanah, sebuah media yang sangat gembur, dimana bibit apapun yang kita semai akan tumbuh dan mengakar di dalam diri mereka, entah itu hal yang baik juga yang buruk. Ketakutan inilah yang mungkin tergambar dalam ungkapan Barrie ketika dia merasakan bahwa tumbuh menjadi dewasa adalah proses yang menyakitkan dan mengerikan. Dan betapa sedihnya menjadi seorang ‘anak yang kalah’ karena tak mengerti bagaimana bermimpi.
*
Pagi itu tanggal 23 April 2017, saya mengikuti ajakan seorang teman yang menjadi relawan KAIL untuk ikut berpartisipasi di Hari Belajar Anak (HBA) KAIL. Dalam bayangan saya, HBA tentulah program bermain dan belajar yang melibatkan anak-anak. Dalam masa-masa kuliah saya dahulu interaksi dengan anak-anak pernah saya lakukan dengan menjadi Guru Sekolah Minggu melalui kegiatan bernyanyi, berdoa, dan membuat prakarya. Sepanjang pengamatan saya, metoda belajar melalui permainan adalah metoda yang selalu dipakai karena sangat dekat dengan keseharian anak-anak. Penekanan materi mungkin berbeda-beda tergantung kebutuhan, namun bermain memang mempunyai kekuatan dalam melakukan pendalaman ke dalam alam pemahaman anak.
HBA KAIL memang sekilas tidak berbeda dengan acara anak-anak sejenis yang pernah saya tahu. Penyusunan program, juga bobot bermain-belajar, cukup mirip dengan acara-acara serupa yang banyak kita temukan di sekolah maupun kelompok bermain. Namun satu hal yang harus diapresiasi dalam kegiatan ini adalah pilihan komunitas yang dilayaninya. Rumah KAIL, sanggar bermain yang dipakai sebagai tempat kegiatan secara reguler, berada pada sebuah desa yang cukup sulit dicapai dari Kota Bandung. Warga sekitar bisa digolongkan warga dengan corak sosial yang homogen. Pilihan untuk membuka kegiatan bermain dan belajar bagi anak-anak di kampung Cigakrugak memang bukanlah pilihan yang populer. Namun saya cukup terkesan karena acara ini ternyata telah berjalan reguler sebulan sekali selama dua tahun.
Hari itu saya ditawari menjadi pendamping sebuah kelompok dengan anggota 3 orang anak yang masing-masing berusian 7 tahun, 8.5 tahun, dan 9 tahun. Karena ini adalah kali pertama saya mengikuti HBA, maka bisa ditebak, ketiganya awalnya menarik diri dari saya. Tantangan pertama saya, tentunya, adalah menipiskan jarak antara kami. Dan saya cukup terbantu dengan rangkaian kegiatan HBA yang mengkondisikan semua peserta untuk berinteraksi satu sama lain. Mereka tidak saja didorong untuk penasaran dan mencari tahu, namun juga mengerti bagaimana memvisualisasikan ide baik secara tulisan maupun gambar.
Dalam rangkaian kegiatan selama 4 jam ini, anak-anak diajak untuk melakukan beberapa kegiatan, diantaranya adalah rangkaian percobaan sains, yoga, menulis jurnal, makan bersama, dan menabung. Ya, saya cukup terkesan melihat anak-anak ini diajak untuk mengerti bahwa kegiatan ini dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka. Sangat menyenangkan melihat mereka menempel sendiri foto kegiatan mereka, menulis apa yang mereka dapatkan dari kegiatan hari ini, menegosiasikan keinginan mereka, dan belajar menabung untuk mendapatkan keinginan mereka. Prinsip-prinsip kemandirian itu diselipkan melalui bahasa-bahasa yang lugas dan lentur.
Rangkaian acara dimulai dengan melakukan yoga sederhana bersama-sama. Bagi saya, sesi yoga memegang peran penting dalam keseluruhan acara, karena di sesi yoga ini anak-anak dan para kakak pembimbing saling menjajaki dalam pengenalan satu sama lain. Cukup unik sebenarnya, karena rentang usia anak-anak yang berpartisipasi cukup lebar, mulai dari balita berusia sekitar 4 tahun, hingga anak-anak berusia 10 tahun. Rentang umur yang cukup lebar ini memerlukan karakter kegiatan yang memungkinkan para balita dan anak-anak yang lebih tua untuk berbaur secara alami, dan yoga bersama di alam terbuka menjadi pilihan yang terbaik menurut saya.
Kegiatan yoga juga menjadi bagian yang banyak mengundang tawa, karena beberapa gerakan memang cukup sulit dilakukan sehingga pose aneh bahkan konyol menjadi selingan yang segar. Semua saling mentertawakan namun ini berhasil mengeratkan satu sama lain. Gerakan-gerakan yoga yang menyerupai figur-figur yang ada di alam juga menjadi bagian menyenangkan, anak-anak bisa melakukan gerakannya sambil menirukan suara figur yang mereka contohkan.
Kegiatan utama hari ini adalah 4 buah percobaan sains, yaitu (1) Membuat lava di dalam botol, (2) Percobaan balon udara, (3) Perlombaan pesawat dengan balon dan benang, serta (4) Membuat ketapel dari stik es krim. Masing-masing pengalaman lalu dituliskan bersama dalam ‘Buku Jejak Waktu’ masing-masing. Buku Jejak Waktu adalah catatan kegiatan dimana anak-anak diajak untuk menulis, menggambar, meninggalkan jejaknya melalui coretan dalam sebuah jurnal.
Percobaan-percobaan tersebut cukup kompleks, namun anak-anak sangat antusias karena percobaannya tidak saja menyenangkan, namun juga berhasil mengundang rasa penasaran dan keriangan. Dengan berbekal bahan-bahan sederhana dan aman, anak-anak diajak untuk mengerti apa itu konsep energi, bagaimana energi dipahami dalam bentuk gerak, perubahan wujud, fungsinya di alam, dan tentunya bagaimana ia bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Bagi saya pribadi, terlibat dalam kegiatan HBA kali ini menjadi pengalaman yang berharga karena secara pribadi, saya sangat prihatin dengan kondisi tumbuh kembang anak usia dini dewasa ini yang sarat kehadiran gadget maupun tontonan yang tidak sesuai. Ketika melihat mereka berinteraksi satu sama lain, saling bekerja sama, saling menjahili, namun kemudian bisa duduk makan bersama lalu mengantri untuk mencuci peralatan makan masing-masing, itu menjadi sebuah pengingat bagi saya, bahwa media yang gembur ini bisa menghasilkan buah yang ranum dan baik ketika kita mampu menyemai impian yang baik kedalam alam fikir mereka.
Menyemai impian tentu bukanlah sebuah pekerjaan yang ringan, orang-orang dewasa yang terlibat di dalamnya pun tidak hanya dituntut untuk mempunyai komitmen yang besar, namun juga harus menjaga integritasnya, karena sebagai panutan bagi anak-anak ini kita harus mampu berlaku selayaknya cermin yang jernih, yang mampu membuat mereka melihat citra kebaikan dalam dirinya sendiri.