oleh M. Arfah D.
angan kanan saya terkepal. Telapak tangan kiri Afifi Rachmat menempel di atasnya. Kami berdiri, terangkai bersama yang lain, membentuk lingkaran kecil. Ia bukan lingkaran penuh sebenarnya. Ia putus di tengah, dan David Ardes Setiady, sang pengampu yang berdiri di luar lingkaran, memberi perlakuan pada salah satu ujungnya. Ardes ingin menunjukkan bagaimana sistem bekerja, bagaimana elemen satu berpengaruh pada elemen lainnya. Lingkaran menganalogikan sistem, sementara saya, Rachmat dan tujuh peserta lainnya bekerja sebagai elemen.
Ardes mendorong ke bawah telapak tangan kiri Aninda Miftahdhiyar, peserta yang berdiri di ujung lingkaran. Sebagaimana efek reinforcing yang menjadi aturan main penganalogian ini, turunnya posisi telapak kiri Miftahdhiyar mewajibkan ia juga harus menurunkan posisi kepalan tangan kanannya dengan jarak yang kira-kira sama. Otomatis telapak tangan kiri peserta lain yang menempel di kepalannya juga ikut turun, dan tentu saja ini berdampak pada posisi tangan peserta lain secara berurutan. “Ini menunjukkan bahwa elemen yang membangun lingkaran saling menguatkan. Elemen satu berpengaruh positif ke elemen lainnya,” kata Ardes.
Kami menebak berapa kali Ardes perlu memberikan perlakuan yang sama pada Miftahdhiyar agar kepalan tangan Aranti Adriarani, peserta yang berdiri di ujung satunya, sampai di tanah. Empat, atau lima kali. Yang pasti, semakin besar energi perlakuan yang diterima Miftahdhiyar, semakin cepat pula waktu yang dibutuhkan lingkaran untuk menjadikan kepalan tangan Adriarani menyentuh tanah. Belakangan kami mengenal perlakuan tersebut sebagai intervensi, Miftahdhiyar sebagai variabel yang memiliki pengaruh penting pada variabel lainnya (leverage point), dan Adriarani sebagai variabel yang secara langsung bakal memperlihatkan hasil. Pengaruh positif antar elemen sudah lebih dulu kami akrabi dengan huruf s, singkatan dari same, atau tanda + dalam diagram yang menggambarkan sistem.
Analogi menjadi semakin menarik saat Ardes meminta satu peserta untuk melakukan efek yang berbeda dari sebelumnya. Awalnya, dia menunjuk Rachmat. Rahmat diminta untuk menaikkan kepalan tangannya jika posisi tangan kirinya turun mengikuti kepalan tangan saya. Masih dengan jarak yang sama. Maka saat Ardes memberi energi pada Miftahdhiyar, terjadi anomali pada Rachmat. Dia tidak akan membuat tangan Adriarani sampai ke tanah. Tidak akan. Sebesar apapun energi yang dikenakan pada Miftahdhiyar. Dia malah menjadikan lingkaran sebagai sistem yang tidak bakal menemukan hasil. Dalam sistem ini, Rahmat dikenal sebagai variabel yang memberikan pengaruh negatif. Ia direpresentasikan dengan huruf o, singkatan dari opposite, atau tanda -. Jika sistem masih diinginkan berjalan untuk mencapai tujuan seefektif dan seefisien mungkin, variabel semacam ini perlu dilemahkan atau bahkan dilepaskan dari rangkaian elemen.
Lalu apa yang terjadi pada hasil jika variabel negatif diperankan oleh dua elemen? Atau bahkan tiga? Kami melakukannya sore itu, dan kami sudah punya jawabannya.
***
Disuatu siang, di tengah saya bekerja, Dhitta Puti Sarasvati, kawan relawan saya di Rumah Mentari, menelepon. Dia mengabarkan bahwa Kail akan mengadakan pelatihan beberapa hari lagi. Tepatnya, Sabtu, 21 September 2013. Kail memberikan jatah 6 orang untuk Rumah Mentari sebagai wujud subsidi. “Apa bisa murid-murid Mentari?” tanya saya.
“Hmm, sebaiknya yang udahlulus SMA. Pelatihannya agak mikirsoalnya,” jawab Puti.
Saya tidak begitu mengenal Kail. Saya hanya mendengar Kail dan apa yang mereka lakukan dari Puti. Beberapa minggu lalu, Puti cerita bagaimana dia dan anak-anak Mentari melukis di atas kain perca di sana. Dengan gembira tentu saja, karena Puti bercerita dengan begitu semangatnya.
Lima atau enam tahun lalu, saya ikut terlibat dalam kegiatan Kail. Itu pun berkat Puti. Kail mengadakan pelatihan kerelawanan dengan meminjam rumah Puti sebagai tempat. Dua hari. Jika saya ditanya sekarang, apa yang saya pelajari waktu itu, jelas saya lupa. Jelasnya saya bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya hanya saya tahu namanya. Makan mie goreng di malam hari, sulit tidur karena dingin, dan tertawa di pekarangan hijau di belakang rumah.
Pengetahuan saya tentang Kail memang tidak banyak, tapi karena beritanya datang dari Puti, dan keyakinan saya soal gerakan semacam ini selalu menyenangkan, saya memutuskan untuk menjadi peserta.
Tak berapa lama setelah Puti menelepon, saya mendapat surat elektronik dari Koordinator Pelatihan dan Lokakarya Kail Melly Amalia. Dari tautan surat tersebut, saya akhirnya tahu Kail adalah akronim dari Kuncup Padang Ilalang. Pelatihannya ‘Cara Berpikir Sistem’. Peserta bakal dikenalkan konsep Causal Loop Diagram (CLD) yang dapat memperlihatkan keterkaitan kausal antar elemen. Konsep ini dapat digunakan untuk menyederhanakan penggambaran permasalahan sosial tanpa mereduksi kompleksitasnya. Saya berpikir konsep ini baik untuk saya dalam memahami hubungan kemampuan belajar anak Mentari dengan komponen-komponen sosial yang melingkupinya.
Saya menghubungi sejumlah relawan lain. Juga murid-murid Mentari yang sudah dewasa. Saya meminta rekomendasi nama kawan mereka yang juga relawan atau murid, yang mungkin tertarik ikut pelatihan ini. Hasilnya, ada 4 orang tambahan. Semuanya relawan. Tapi di pagi sebelum pelatihan dimulai, hanya ada dua yang hadir mewakili Rumah Mentari: saya dan Miftahdhiyar.
***
“Lucu ya. Seru. Gue bakal bikin rapih nih indikator-indikator sama diagramnya. Pakai kertas warna-warni. Trus guetempel di kamar gue,” kata Miftahdihyar.
Saya ketawa mendengarnya. Diam-diam, saya mencontek rencananya, kecuali bagian membuat ulang indikator dan diagram Behavior Over Time (BOT). Dia masih muda. Baru lulus sidang sarjana. Tenaganya masih banyak untuk melakukan sesuatu lebih dari satu kali.
Indikator yang dia maksud adalah rumusan ideal dari visi yang dia rencanakan lima tahun mendatang, sedangkan BOT berfungsi memperlihatkan tren kejadian pada rentang waktu tertentu. Visinya bersifat personal. Maka indikator kesuksesan yang dia bayangkan berbeda dengan indikator kesuksesan saya.
Saya sendiri membayangkan bahwa saya bekerja di perusahaan minyak dan gas alam lima tahun lagi, dengan gaji yang besar dan fringe benefit yang asik. Sudah meraih gelar master atas bantuan beasiswa, dan masih aktif sebagai relawan pengajar. Maka saya menetapkan penghasilan, karir, gelar pendidikan sebagai indikator-indikator keberhasilan visi saya.
Miftahdihyar punya indikator-indikator yang sedikit janggal. Gaji suami, karir suami, keberkahan dunia akhirat menjadi rumusan-rumusan keberhasilannya. Memang apa visinya?
“Menjadi istri yang diberkahi Allah, dan punya suami kaya dan saleh. Kebahagiaan suami gue, ya kebahagiaan gue juga,” katanya.
Bagaimana kalau suaminya nanti tak bahagia, tak punya penghasilan besar?
“Yah, gue bakal cari suami yang jelas-jelas punya gaji besar. Manajer mungkin, CEO mungkin.”
Saya tertawa mendengar jawabannya. Saya lalu menyebut beberapa nama kawan kuliahnya, yang juga relawan Mentari, yang mungkin punya peluang menjadi kaya. Dia ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala dan telapak tangannya.
“Gak mungkin dia kaya. Gak mungkin,” katanya.
Pagi di hari pelatihan, Ardes memang meminta kami untuk membayangkan apa yang kita mau lima tahun ke depan. Tetapkan indikator-indikatornya, dan tunjukkan tren kejadiannya dalam diagram sederhana. Tren bakal membantu menentukan apakah hubungan antar indikator positif atau negatif.
Setelah urusan indikator dan diagram selesai, Ardes menyuruh kami merangkainya di atas lembaran buram ukuran besar. Saat kami memikirkan keterkaitan sebab-akibat antar indikator, kami menemukan indikator-indikator baru yang kami rasa perlu. Diagram BOT mengikutinya. Dan lahirlah Causal Loop Diagram(CLD) pribadi nan sederhana.
“Teorinya, elemen-elemen itulah yang bakal menentukan Anda berhasil menjalankan misi, meraih visi yang Anda mau. Rangkaian CLD bisa meluas sampai Anda tidak bisa lagi menentukan indikator apa yang tepat,” terang Ardes.
Pada simulasi itu, kami sedang mempraktekan cara berpikir sistem. Ia menuntut kejujuran pada realitas, fokus pada keseluruhan, dan terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Pada penggambaran fenomena yang lebih kompleks, kemungkinan yang dipertimbangkan sebagai elemen perlu dibuktikan melalui diskusi, uji data, observasi, atau sejumlah tahapan penelitian yang lebih masif.
Dalam bangunan tingkatan pengaruh (leverage) keterkaitan antar elemen, simulasi membangun rangkaian sejumlah indikator pencapaian visi sampai pada tahapan struktur yang masih perlu didandani. Tahap kejadian dan pola perilaku telah dilalui dengan menetapkan indikator dan hubungan kausal di antaranya. Hubungan kausal yang ditunjukkan oleh indikator-indikator pencapaian visi saya, misalnya, menunjukkan pola saling menegaskan.
Bagaimana sebuah strukturketerkaitan indikator bekerja, bagaimana pengaruh indikator satu dengan indikator lainnya, bagaimana menentukan indikator yang paling berpengaruh dalam keefisienan dan keefektifan pencapaian visi, intervensi apa yang perlu dilakukan padanya, Ardes mulai membahas itu semua dengan diawali simulasi telapak, kepalan, dan lingkaran kecil yang kemudian bergerak serempak di satu periode waktu, bergerak dalam tindak yang tak kami duga di satu periode waktu lainnya.
“Jalannya sistem tergantung dengan tujuan yang ingin kita capai. Sistem layaknya yang digambarkan loop. Ia bisa saling menguatkan, bisa saling menyeimbangkan. Agar tujuan tercapai, maka lakukan strategi intervensi pada variabel-variabel yang menurut Anda penting. Anda bisa memperkuat atau melemahkan variabel atau hubungan antar variabel, Anda dapat pula menambah atau menguranginya,” jelas Ardes.
Kami mengidentifikasi setiap loop dari sistem pencapaian visi kami. Mana loop yang indikator-indikatornya saling menguatkan (reinforcing), mana loop yang menyeimbangkan (balancing). Kami juga membaca hubungan antar indikator, apakah same atau opposite. Maka kami mendandani struktur yang kami buat dengan tanda R untuk reinforcing atau B untuk balancing di tengah setiap loop. Setiap tanda dikelilingi lingkaran panah kecil searah jarum jam. Sementara garis panah yang menghubungkan antar indikator dilengkapi tanda s atau o.
Cara menentukan indikator yang paling berpengaruh atas keberlangsungan sistem ialah melihat variabel mana yang dilalui banyak garis. Pada indikator itulah sebaiknya kami melakukan intervensi. Dalam sistem pencapaian visi saya, indikator terpenting ialah penghasilan. Ia memiliki pengaruh banyak pada indikator daya beli, tabungan, bahkan gelar pendidikan.
Indikator dan rangkaian indikator pencapaian visi saya kini menempel di dinding kamar. Tepat di atas styrofoammerah yang saya pakai untuk menggantungkan apa saja. Saya biarkan ia otentik. Asli seperti saat saya membuatnya di ruang pelatihan. Tentu saja saya bubuhkan nama saya dan tanggal kapan saya membuatnya. Ini penting. Sangat penting. Agar saya tahu apakah penghasilan dan indikator lainnya punya catatan yang baik, atau bahkan mewah, di 2018.
***
KartikaJahja melepas sepatu boot-nya saat intro lagu kedua mulai mengalun. Sesekali ia memainkan rambut pendeknya, dengan mengalunkan kepalanya ke segara arah sambil menutup mata. Jahja tampil seperti penari telanjang dalam orkes jawa yang mengalun pedih. Perempuan itu penuh tipu, tapi memikat. Dia mengiringi Aksan Sjuman, Henning Sieverts, dan pemusik jazz lainnya dengan desahan, teriakan, pekikan, juga kalimat-kalimat jelas dalam bahasa Inggris.
Saya menikmatinya di pentas jazz Jumat malam, hampir tiga minggu setelah saya menghadiri pelatihan Kail, di Aula Barat Institut Teknologi Bandung. Malam di tengah saya menonton Jahja dan pasukannya, Puti mengirim pesan lewat BlackBerry Messenger(BBM). Dia mengajak saya kumpul di Siete, kafe di sekitar Simpang Dago. “Aku lagi bareng Imoth,” pesannya.
Imoth, nama panggilan dari Ima Noor Puspitasari. Noor juga relawan Mentari. Spesialisasi dia ialah urusan uang dan membangun relasi antara Mentari dan donatur. Tapi tidak lagi. Dia kini sibuk menyiapkan diri untuk menikah. Dan ia salah satu orang yang menolak ajakan saya menjadi bagian dari pelatihan ‘Cara Berpikir Sistem’. Tak mampu otak, alasannya.
Setelah pertunjukan jazz selesai, saya meluncur ke Siete. Mereka masih di sana, meski mereka tahu bahwa saya harus menonton Jahja sampai selesai. Ini kali pertama saya jumpa Puti setelah dia memberi kabar pelatihan.
Di detik pertama saya duduk di hadapan mereka, Puti bertanya, “Gimana pelatihannya? Seru?”
“Hanya kami berdua yang datang. Saya dan Ninda. Yang lain mendadak gak bisa. Seru, seru. Kenal beberapa orang baru.”
“Apa sihpelatihannya? Ceritain dong,” pinta Noor.
Mendadak saya ingat penelitian tugas akhir program sarjana saya dulu. Saya mengeksekusi program basis data sebagai bagian dari sistem informasi pengambilan keputusan. Saya tidak mengembangkan program, tapi menyusun format dan substansi yang tepat untuk diterjemahkan ke dalam sebuah program. Temanya pengelolaan air tanah Kota Semarang. Sementara saya mengembangkan basis data, seorang kawan manis berjilbab, Fitri Prabarani, membangun basis pengetahuan untuk substansi yang sama sebagai tugas akhir program masternya.
Saya dan Prabarani berangkat dari model pengelolaan air tanah Kota Semarang yang telah lahir sebelumnya. Model ini diciptakan melalui proses berpikir sistem (system thinking) dengan data, asumsi, perdebatan, serta serangkaian hipotesis dan justifikasi yang mengiringinya. Priana Sudjono, dosen kami, menyebut model itu sebagai Sistem Interrelationship Model (SIM). Saya baru sadar bahwa apa yang dijelaskan oleh Ardes sama dengan apa yang diyakini oleh Sudjono sebagai pendekatan yang baik dalam memahami permasalahan lingkungan.
Ingatan ini menegaskan alasan Hendrick Mayzonny yang juga ikut hadir dalam pelatihan ‘Cara Berpikir Sistem’. Dia mahasiswa baru program master Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung.
“Dosen saya nyuruhsaya hadir di pelatihan ini. Katanya pelatihan ini bakal mengenalkan dasar-dasar system thinking. Ini berhubungan dengan penelitian saya nanti,” kata Mayzonny di awal pelatihan.
Pada malam itu, saya akhirnya tidak hanya menceritakan apa yang saya dapatkan di kelas pelatihan: elemen dan keterkaitannya satu sama lain sebagai sebuah sistem. Saya bahkan berbusa mengisahkan bagaimana tiap elemen diterjemahkan sebagai data, dan keterkaitan antar elemen diterjemahkan sebagai pengetahuan. Secara teknis, data dan pengetahuan lalu ditumpahkan ke dalam bahasa pemrograman menjadi sebuah piranti lunak yang diarahkan membantu pengguna dalam mengambil keputusan setiap permasalahan.
Isi kepala saya malam itu meruap, melimpah. Pengalaman-pengalaman memberikan hal-hal baru yang saya rangkai belakangan menjadi sebuah pengetahuan. Meski saya tahu itu pastilah belum utuh, tapi pengetahuan semacam ini cukup memberikan makna bahwa apa yang telah saya lakukan tidak percuma. **